Hiding Tonight

Tomorrow I’ll be faster

I’ll catch what i’ve been chasing after

And have time to play

But I’m quite alright hiding today

[Alex Turner – Hiding Tonight]

source: vaniflewaway(.)devianart(.)com

source: vaniflewaway(.)deviantart(.)com

Pharrell Williams and his G I R L

Pharrell Williams, satu dari banyak musisi yang saya kagumi.Pharrell at Oscar 2012

Seorang penyanyi-rapper, produser, penulis lagu, designer dan…seorang vampire. Iya, vampire. Lantaran terlihat masih sangat muda untuk seseorang yang berumur di atas 40 tahun, banyak fans dan media yang membuat joke bahwa Pharrell adalah vampire(FYI : vampires don’t age).

Namun bagi saya, dia adalah seorang genius, musical genius. Karya yang ia hasilkan, ciptaan yang melibatkan campur tangannya menunjukkan sesuatu yang dikerjakan dengan passion, kreatifitas dan pengetahuan musikal tinggi tapi hasilnya tetap enjoyable.

Selama ini saya lebih sering menjumpai Pharrell lewat  lagu-lagu penyanyi lain yang berembel-embel “featuring Pharrell”. Sebutlah yang paling terakhir saya dengarkan : lagu Celebrate yang dinyanyikan Mika, lagu milik Robin Thicke dengan video klip kontroversial Blurred Lines , dan lagu disko-funk paling asik sepanjang 2013  : Get Lucky & Lose Yourself To Dance yang ada di album Daft Punk. Semua lagu itu sangat gampang diterima kuping saya, sedikit-banyak pasti karena efek keterlibatan Pharrell Williams di lagu-lagu itu.

Belakangan Pharrrell memang lebih aktif berkarya sebagai produser dan berkontribusi dalam pengerjaan album banyak artis. Sementara ia sendiri baru mengeluarkan satu album solo di tahun 2006 lalu.

Saya jadi penasaran, ingin mendengarkan lagu yang benar-benar “utuh” dari seorang Pharrell. Bukan sekedar lagu yang featuring Pharrell.

Dan bulan ini, rasa penasaran saya akhirnya bisa diakhiri. Tiga Maret lalu Pharrell Williams merilis album baru bertajuk G  I  R  L .

source : pharrellwilliams(dot)com

G  I  R  L berisi 10 lagu termasuk Happy, OST Despicable Me 2 yang masuk nominasi oscar kategori best original song.

Pharrell yang awalnya tenar sebagai rapper sama sekali tidak nge-rap di album ini. Album yang didedikasikan kepada perempuan ini dibuka oleh track berjudul Marilyn Monroe yang menyertakan aransemen string yang emosional di bagian intro. Disusul Brand New sebuah lagu featuring Justin Timberlake. Ini bukan tipikal lagu yang bisa langsung bikin jatuh cinta saat pertama didengar. Kalau sedang tak acuh dengan liriknya, mungkin bakal mebosankan karena sesak dengan irama beatbox, terompet, gitar funk yang semuanya dominan.

Kemudian ada Hunter , lagu yang groovie dan bernuansa retro. Lagu ini mengingatkan saya pada Still Alive milik Bee Gees. Mungkin karena unsur retronya setipe.

Berduet dengan Alicia Keys dalam Know Who You Are, Pharrell menyuguhkan lagu bergaya reggae dengan chorus yang catchy  :I know who you are and I know what you’re feeling…” Jujur, menurut saya, part yang dinyanyikan Alicia di lagu ini malah terdengar lebih menarik daripada part-nya Pharrell. 😀

Dan dan dan…..satu favorit saya, lagu di album ini yang saya putar lebih sering dari lainnya : Gust of Wind feat. Daft Punk. Mungkin semacam kolaborasi timbal balik, kini giliran The Robots yang jadi featuring artist di album Pharrell. Lagunya sih (lagi-lagi) funk dengan sedikit aransemen string tapi punya kekuatan membuat pendengarnya (minimal) mengangguk-anggukan kepala mengikuti iramanya. Danceable!

Oya, ada lagu duet lain dalam album ini yaitu Come Get It Bae feat Miley Cyrus. Mengalir dengan sentuhan country-funk-RnB(?) <– ngarang nama genre sendiri. Belakangan image yang ditampilkan Cyrus di panggung memang cenderung terkesan negatif. Namun  Pharrell sepertinya tetap melihat (dan mempercayai) musikalitas Miley Cyrus, tak seperti mereka yang nge-judge karena melihat dari satu sisi saja. Di satu artikel yang sempat saya baca, Pharrell berkomentar tentang Miley Cyrus “She’s 21, more talented, more edge and such a big heart that you just would never even imagine….And I’m telling you now again, you have no idea who this girl is and what she’s about to do.” (sumber: capitalfm)
Ya, sikap open-minded seperti ini yang menginspirasi saya. Hanya karena seseorang di-judge negatif bukan berarti relasi dan pandangan kita pada orang tersebut harus terpengaruh.

Eeeh?? ini kenapa jadi kayak review album yaak? padahal niat awal nulisnya nggak gitu..heheheh

Baiklah mari sudahi sampai di sini saja. Gejala serangan asam lambung saya yang meningkat mulai muncul kembali..hiiks..

pharrell

“I’m a fan of music, first and foremost. So I do things from the perspective of a fan.”

Btw, siapa salah satu penyanyi favoritmu?

Siapapun itu pastilah dia mempunyai sisi inspirasional yang bisa diteladani yaa..  🙂

.:. Happy Weekend ^^

F-Hole String Orchestra Concert : From Baroque to 20th Century

Saya nonton konser F-hole string orkestra ISI lagi^^..kembali menikmati sajian musik klasik dengan aturan baku, move on dari konser musik Arties yang saya tonton 3 hari sebelumnya bareng Five.

Ini merupakan konser kedua F-Hole  di tahun 2013 setelah gelaran “Early 20th Century Music” Februari lalu.

Kali ini konser mengangkat tema “From Baroque to 20th Century”. Mereka mempersembahkan beberapa karya musik dari zaman Baroque sampai Modern dengan format string orchestra (violin, viola, contra bass dan cello). Saya nggak ngerti juga sih soal sejarah musik klasik, tapi dari hasil baca-baca, musik klasik memang di kelompokkan menjadi beberapa periode sesuai perkembangannya. Zaman Baroque sendiri berada pada 1600-1750M. Kemudian dilanjutkan zaman Klasik, Era Romantik dan Era Modern.

Selasa malam, 12 November 2013 sekitar pukul 20.00 WIB, pemain orkestra dengan Danny Ceri sang concert master telah menempatkan diri di panggung. Malam itu para wanitanya nampak beda, mereka pakai dresscode pink. Lovely. Tapi saya lebih senang melihat mereka pakai hitam, lebih elegan  *hehehe…ini apaan sih malah ngomentari kostum*

Sambutan Ketua Panitia F-Hole String Concert

Tinggal tunggu sang konduktor Pak Budhi Ngurah dipanggil naik ke panggung untuk memulai konser. Namun seperti pada umumnya sebuah acara, ada sambutan-sambutan hirarkis dulu. Paling menyita perhatian adalah sambutan dari ketua panitia. Di dalam sambutannya, ketua panitia sempat menyinggung bahwa butuh perjuangan untuk mendapatkan suplay listrik yang memadai di concert hall tersebut. Dia jadi mengungkapkan kendala dan permasalahan yang terjadi antara panitia dengan kampus. Mbaknya ini sampai hampir nangis meminta maaf kalau-kalau listrik mati di tengah konser berlangsung. Memang sih sebelum konser dimulai tadi listrik concert hall sering byar-pet. Namun untunglah yang dikhawatirkan nggak terjadi, listrik tetap menyala sampai konser selesai. *Selamat ya, Mbak*

Setelah beberapa sambutan dan pembacaan aturan nonton, konser pun di mulai.

F-Hole String Orchestra Concert, Conduct by Budhi Ngurah

 

Konser dibagi menjadi 2 sesi.

Danny Ceri

Danny Ceri

Sesi 1 diawali Concerto Groso No IV karya komponis zaman Baroque Arcangelo Correll. Karya ini dimainkan dengan solo violin dari Danny Ceri. Nggak bisa komen, Danny Ceri bravo pokoknya..

Dilanjutkan Divertimento karya Mozart yang merupakan jenis musik abad 18, zaman klasik. Mozart dan muridnya, Beethoven, memang komponis yang terkenal di zaman ini. Saya sering dengar nama Beethoven tapi paling mentok tahunya Fur Elise doank yang banyak dijadikan lagu di kotak musik. Pun sama dengan Mozart, saya cuma sekedar tahu twinkle-twinkle little star hehehe..

Sebuah komposisi karya Tchaikovsky Elegy for string dimainkan kemudian. Rangkaian bunyi yang mengalun bener-bener menggambarkan kalau ini adalah sebuah karya dengan citarasa galau bin melankolis 😦

Aus Holberg Zeit yang ditulis Edward Greig menutup sesi 1.

Setelah jeda istirahat sekitar 10 menit, konser pun memasuki sesi 2.

Simple Symphony No 2 milik Jeff Manookian -yang terdengar tidak simple di telinga- dimainkan, diteruskan Adagio for string karya Samuel Barber. Kata bookletnya, ini adalah   ost film tentang perang Platoon aransemen gelap. Kurang mengerti apa yang dimaksud aransemen gelap. Bagi saya komposisi ini terdengar sedih, seperti backsound death scene.

Komposisi terakhir yang dimainkan di sesi 2 sekaligus menutup konser malam itu adalah Fuga Y Misterio karya musisi abad 20 Astor piazzola. Dari semua komposisi yang dibawakan f-hole string orkestra, komposisi terakhir ini paling saya favoritkan. Komposisi berbentuk fuga, setiap instrumen mengimitasi pola permainan instrumen lain. Di sini awalnya violin memainkan polanya, terus diulang instrumen lain dengan lebih kompleks.

 

Pemberian buket bunga kepada Konduktor, Concert Master dan principal di akhir acara.

Btw kabarnya memperdengarkan musik klasik ke janin baik buat kecerdasannya kan ya..kalau yang ndengerin udah bukan janin mudah-mudahan masih bisa mencerdaskan juga lah ya..*ngarep!* *padahal juga masih jarang-jarang dengerinnya*

Konser Musik Klasik ARTIES

Sabtu malam 9 November lalu saya bareng Five nonton konser musik klasik di auditorium Institute Francais Indonesia alias Lembaga Indonesia-Perancis(LIP). Penampilnya adalah empat orang musisi dari Perancis yang tergabung dalam kelompok “ARTIES”. Nama yang sepenuhnya asing bagi saya. Setelah sampai di venue dan mendapatkan leaflet barulah saya tahu sedikit informasi tentang Arties.

Mereka merupakan sekumpulan musisi yang berasal dari orkestra-orkestra Eropa ternama, pemenang berbagai kompetisi internasional dan musisi tamu berbagai festival bergengsi. Mereka berkumpul karena memiliki passion dan kesenangan yang sama akan musik kamar dan telah keliling dunia untuk mempromosikannnya. Salah satunya mempromosikan musik kamar Perancis ke generasi muda di India dengan menyelenggarakan festival keliling yang sudah dilakukan sejak 11 tahun lalu.

Musik kamar atau Chamber Music adalah musik klasik yang dulunya dimainkan di ruang yang tidak begitu luas, biasanya dimainkan oleh beberapa pemain solo untuk raja atau bangsawan. Ringkasnya, musik kamar merupakan musik klasik yang dimainkan orkestra kelompok kecil *CMIIW*

Sekarang ini, musik kamar sudah dipentaskan kepada orang banyak secara terbuka, bisa dinikmati semua kalangan dan tidak terbatas pada tempat tertentu.

* * *

Konser malam itu dibuka oleh seorang wanita bule yang berkata-kata dalam bahasa romantis-bahasa perancis yang hanya dia, Tuhan dan segelintir orang di auditorium yang tahu. Saya yang ngertinya  bonjour sama  je t’aime doank cuma bisa mendengar sebagai kalimat-kalimat kosong saja. Beruntung berikutnya ada MC lain yang menjelaskan dengan bahasa persatuan. MC kedua itu menjelaskan sekilas profil Arties dan beberapa aturan saat konser.

Salah satu aturannya, penonton dilarang merekam dan mengupload hasil rekaman di internet(cuma boleh ambil foto). Dan aturan yang luar biasa adalah penonton dibolehkan bertepuk tangan kapan saja, nggak harus nunggu satu komposisi selesai dimainkan. Jadi kalau penonton merasa ada bagian penampilan Arties yang berkesan, silakan langsung tepuk tangan saja. Bisa dibilang aturan ini keluar dari protokol konser musik klasik biasanya, menarik 🙂 .

Setelah MC kedua selesai membuka konser, masuklah 4 orang menuju panggung. Saya agak bertanya-tanya saat itu karena yang 3 itu bule tapi yang satu lagi muka dan postur tubuhnya sangat domestik. Setelah mereka duduk dan memegang alat musik, baru jelas kalau yang 3 itu adalah pianist, cellist dan violinist(Sullimann Altmayer). Sementara yang non-bule merupakan page-turner, membantu pianist(Romain Descharmes) membalik kertas partiturnya saat sedang main piano. *Lha terus anggota Arties yang satu lagi kemana, di leaflet gambarnya ada 4 pemain?* Begitulah saya masih bertanya-tanya lantaran mereka yang di panggung itu langsung memulai konser bertiga saja. *Ternyata di awal konser mereka memang main Trio dulu*

Penampilan Arties(Trio)

Penampilan Arties(Trio)

Kurang lebih 3 karya mereka mainkan sebelum akhirnya sang Cellist(Gauthier Herrmann) memberikan sepatah-duapatah kata, yang untungnya tidak dalam bahasa Perancis. Katanya ini adalah bagian dari tur mereka di Asia, mereka akan membawakan beberapa karya dalam format Trio dan Quartet. Ketika itu dia juga mempersilakan untuk tepuk tangan kapan saja penonton suka dan ia mengakhiri sambutannya dengan mengundang seorang lagi anggota Arties ke panggung untuk melanjutkan konser dalam format quartet.

Arties saat bersiap-siap untuk tampil quartet

Arties saat bersiap-siap untuk tampil quartet

Anggota Arties yang naik panggung terakhir adalah seorang violist(pemain viola) dan dia sangat menarik perhatian saya hahaha Namanya Julien Dabonneville. Saya suka sekali posturnya saat memainkan violanya *salah fokus*

Arties

Arties

Saya lebih suka permainan quartet mereka, musiknya terasa lebih komplit dan menyatu hehehe..saya memang nggak berkompeten untuk berkomentar soal musik klasik. Tapi menurut saya penampilan mereka sangat “hidup” dan sama sekali tidak membosankan. Apalagi mereka tidak sepenuhnya memainkan musik yang klasik total, ada juga lagu “Jai Ho” dan beberapa lagu bernuansa India yang mereka mainkan.

Arties juga menyelipkan improvisasi dengan unsur komedi di sela permainan yang membuat penonton tergelak atau spontan bertepuk tangan. Dasarnya nggak biasa dengan aturan yang “luar biasa’ soal bertepuk tangan, penonton yang ‘saklek’ masiiih saja ada yang ber-“Sshhhhtt!!” menyuruh tenang, padahal Arties-nya saja sudah membebaskan untuk mengapresiasi dengan bertepuk tangan kapanpun.

Sepertinya Arties mengesampingkan protokol konser musik klasik agar lebih ‘dekat’ dengan penikmatnya. Mereka mencoba membuat musik klasik yang disajikannya tidak terlalu kaku dan berjalan spontan.

Sullimann – Romain Descharmes – Gauthier Herrmann – Julien Dabonneville^^

Malam itu saya dan Five terbilang cukup beruntung bisa dapet tempat duduk, padahal datangnya mepet jam pertunjukan. Ini karena pintu masuk auditorium baru dibuka sekian menit sebelum pertunjukan dimulai. Penonton yang datang cukup banyak saat itu, sampai ada yang lesehan dan berdiri di lorong antarkursi. Bahkan kata MC, auditorium LIP nggak pernah seramai itu. Wajar sih, konser musik klasik memang cukup jarang, apalagi yang penampilnya dari luar negeri, terbuka untuk umum dan gratis. *Yaampun, konser sebagus ini bisa dinikmati secara cuma-cuma (>.<)*
*Thank you 5!*

[KulinerJogja] Madam Tan Wok Bar

Kemarin pas tanggal merah tahun baru hijriyah, saya ada mini-reuni sama beberapa teman sewaktu kerja part-time di perpustakaan. Saya sebut mini-reuni karena kami hanya berempat saja. Sebenernya sih ini cuma reuni dengan Mba Ling yang baru-baru ini mutasi ke Jogja. Kalau tiga lainnya—saya, Nunagallo dan Mba Marragret, biasanya juga masih sering ketemuan lantaran sama-sama masih berdomisili di kota gudeg ini.

Dan kami, kalau ketemuan paling ya hanya untuk sekedar ngobrol dan makan bareng. Pertemuan kali ini juga begitu. Hanya saja kali ini kami memutuskan untuk bertemu di Jogja Expo Center(JEC) untuk lihat-lihat pameran dulu. Kebetulan waktu itu di JEC lagi ada pameran komputer, gadget, fashion dan lifesyle bertajuk Great Fest. Kurang puas juga rasanya kalau acaranya cuma ketemu->makan bareng->pulang.

Selain itu, kami ngumpul di JEC karena belum punya tempat tujuan untuk makan bareng. Menjelang petang, setelah pegal keliling pameran barulah kami bahas deh itu persoalan MDM(MakanDiMana)Urusan memutuskan MDM ini nggak pernah mudah, apalagi kalau lagi pada nggak punya referensi tempat makan. Hari itu akhirnya diputuskan buat makan di Madam Tan meskipun sedikit berdebat dengan Mba Marragret yang menginginkan tempat lain hahaha..*next time yaa Mba*

Madam Tan, lengkapnya Madam Tan Wok Bar termasuk belum lama memeriahkan dunia perkulineran Jogja #halah! Tempat ini baru dibuka akhir september lalu. Baliho promonya memang sempat saya lihat di jalanan, tapi kurang attractive bagi saya lantaran entah kenapa saya nangkepnya itu resto masakan ala Malaysia. Padahal kalau diperhatikan lagi nggak ada unsur apapun yang eksplisit mengatakan itu resto masakan Malaysia.

* * *

Sewaktu sampai di TKP, di jalan C Simanjuntak no. 78A Yogyakarta, suasana rumah makan yang bercat dominan putih dan woody itu lumayan ramai. Namun kami masih berusaha cari tempat yang oke dan sempat coba lihat ke lantai atasnya dulu..eh ternyata tempatnya cenderung gelap, ada sih spot yang oke di balkon tapi cuma ada 2 kursi, lebih cocok buat dinner date gitu. Akhirnya kami turun lagi dan beruntung pas itu ada meja di pojok–yang terlihat nyaman– baru ditinggalkan pengunjung. Jadilah kami berempat menempatinya meski harus menunggu meja diberesi dan dibersihkan. Tapi beneran, spotnya asik dan dibanding lantai atas, menurut saya suasana lantai bawah lebih hangat, apalagi kalau dapat spot di depan open kitchennya tuh..mungkin bakal lebih terasa hangat.. :p

Madam Tan lantai 1

Madam Tan lantai 1

Okay, setelah duduk dan melihat daftar menunya, ternyata Madam Tan ini menyajikan menu yang bervariasi *dan terbukti bukan resto masakan Malay*. Sebagian besar merupakan menu oriental yang dimasak dengan Wok(wajan besi). Sebagian lain adalah masakan western, melayu dan nusantara. Komplit.

Kalau bingung mau pilih makanan apa, ada icon jempol di buku menu yang membantu menunjukkan menu yang direkomendasikan atau tanyakan saja sama pelayan. Kalau tips pilih menu dari saya sih simpel saja, buka halaman pertama buku menu dan lihat menu-menu di bagian kiri atas. Biasanya itu menu andalan tempat tsb. *biasanya lho yaa* 😀

Oke deh, ini beberapa menu yang kami pesan di Madam Tan:

Sunny Sky

Sunny Sky pilihan Mba Ling, kurang tahu ini mix dari apaan dan apaan, yang keliatan jelas cuma ada buah ceri yang bikin minuman ini keliatan seksi kayak semacam cocktail 😀

Reguler Ice Tea Madam Tan

Reguler Ice Tea Madam Tan

Es Langkawi Madam Tan

Es Langkawi Madam Tan

Es Langkawi, katanya diambil dari nama daerah di Indonesia yaitu Langkawi. Saya sendiri nggak tahu Langkawi-nya Indonesia. Setahu saya Langkawi ada di Malaysia *Malaysia meneh*. Isinya bubur sumsum putih, santan, gula aren, kolangkaling, kelapa muda, cincau, nangka dan ketan. Woaah, saya agak-agak laper mata pas pesan ini, Es langkawi terlalu ‘berat’ buat teman makan nasgor hahaha..

Hot Strawberry Tea

Hot Strawberry Tea pesanan Mba Marragreth ini saya pikir teh hangat berisi potongan buah strawberry. Ternyata bukan, pas di antar ke meja kami Hot Strawberry Tea bentuknya air putih hangat sama 1 tea bag plus pemanisnya. Jadilah Mba Marragreth nyeduh sendiri teh merk Dilmah itu. Teh asal Srilanka dengan warna yang cenderung gold. Kabarnya teh ini berkualitas premium dan beraroma kuat *abis cari tahu soal Dilmah 🙂 *

Bihun Tom Yam Madam Tan

Bihun Tom Yam Madam Tan

Pesanan Nunagallo, menurutnya kuantitas bihunnya minus tapi kuahnya lezat dan nggak terlalu asam.

Nasi Goreng Ala Madam

Nasi Goreng Ala Madam Tan

Nasi Goreng Ala Madam dg Topping Seafood

Nasi Goreng Ala Madam Tan dg Topping Seafood

Selain Nunagallo, kami semua pilih nasi goreng ala Madam Tan. Nasi goreng telur berwarna kemerahan yang katanya dari buah bit yang dibilang kaya antioksidan. Rasanya enaak, campuran nanas dan kismisnya memberi tambahan rasa segar. Hanya saja terlalu oily. Mudah-mudahan yang dipakai minyak zaitun atau apa gitu yaa hehe kan jargonnya “Healthy food, good food, good mood” 🙂 Oh ya, di sini menu yang dimasak dengan wok semisal nasi goreng, bakmi, kwetiaw dan ifumie bisa diberi topping sesuai pilihan. Saya sendiri mencoba topping seafood.

And the last, soal harga. Harga menu di Madam Tan cukup sebanding sama rasanya, menu wok-nya mulai 20ribuan.  Kalaupun merasa harganya agak “lumayan”, saya rasa bisa dibikin impas dengan tempat yang cozy, nyaman dan pelayanan yang ramah.